Cacar Monyet [Impetigo Bulosa]

CACAR MONYET atau Impetigo Bulosa adalah suatu kondisi kulit yang khas terjadi pada bayi baru lahir, dan disebabkan oleh infeksi bakteri, yang menampilkan bullae.
[1] Kondisi ini dapat disebabkan oleh toksin Eksfoliatif A.
[2] Infeksi superfisial piogenik yang terjadi dapat dibagi menjadi dua macam; Impetigo, dan impetigo non-bulosa impetigo. Impetigo bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus, yang menghasilkan racun eksfoliatif, sedangkan impetigo non-bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Streptococcus pyogenes.
[3] Tiga puluh persen dari semua kasus impetigo yang terjadi terkait dengan impetigo bulosa. Impetigo bulosa pada bayi baru lahir, anak-anak, atau orang dewasa yang immunocompromised dan/atau mengalami gagal ginjal, dapat berkembang menjadi lebih parah dan bentuk umum disebut Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS). Tingkat kematian kurang dari 3% untuk anak-anak yang terinfeksi, tetapi dapat mencapai hingga 60% pada orang dewasa.

Tanda dan Gejala :

Impetigo bulosa dapat muncul di sekitar area popok, ketiak, atau leher. Bakteri menyebab produksi toksin yang akan mengurangi daya lekat antar sel (adhesi), menyebabkan lapisan atas kulit (epidermis) dan lapisan bawah kulit (dermis) menjadi terpisah. Vesikel dengan cepat membesar dan membentuk bullae yang melepuh lebih lebar dari 5 mm. Bullae juga dikenal sebagai Sindroma kulit terbakar stafilokokus. Gejala terkait lainnya adalah gatal-gatal, pembengkakan di kelenjar terdekatnya, demam, dan diare. Perlu dicatat bahwa terjadinya rasa sakit adalah sangat langka.

Efek jangka panjang: setelah koreng pada bulosa sudah terlepas, terjadinya jaringan parut adalah minimal. Efek jangka panjang yang mungkin adalah penyakit ginjal.

Etiologi :

Penularan dapat terjadi pada bangsal rumah sakit dan ruang perawatan anak, serta dapat ditularkan antar orang. Banyak juga terjadi melalui olahraga dengan kontak fisik. Oleh karena itu, disarankan agar pasien dapat membatasi sebanyak kontak dengan orang lain untuk membatasi penularan infeksi.

Penularan :

Setelah 48 jam penyakit ini dianggap tidak lagi menular dengan asumsi perawatan dengan antibiotik yang tepat telah diberikan.

Patogenesis :

Toksin eksfoliatif (racun pengelupas) adalah serin protease yang secara khusus mengikat dan membelah desmoglein 1 (Dsg1). Penelitian terdahulu memperkirakan bahwa racun pengelupas mengikat gangliosida, menyebabkan pelepasan protease oleh keratinosit yang bertindak sebagai superantigens dalam stimulasi sistem kekebalan kulit. Penelitian terbaru menyarankan adanya tiga macam racun pengelupas; yaitu ETA, ETB, dan ETD yang bertindak sebagai serin protease yang spesifik terhadap asam glutamat, dengan spesifisitas yang terkonsentrasi. Hasilnya adalah pembelahan pada Dsg1 manusia di situs yang unik setelah residu asam glutamat menyebabkan deaktivasi. Proteolisis dari ikatan peptida yang mengarah ke disfungsi Dsg1 dan desmosome, membuat dapat dipahami mengapa bulosa terbentuk, sehingga diketahui bahwa ikatan peptida adalah penting agar Dsg1 berfungsi yang tepat.

Diagnosis :

Mengamati penampilan fisik kulit, atau menyeka kultur lesi dari S. aureus. Penyekaan hidung dari anggota keluarga terdekat pasien diperlukan untuk mengidentifikasi apakah mereka pembawa asimtomatik dari S. aureus.

Pencegahan :

Sejak patogen umum yang terlibat dengan impetigo adalah bakteri alami yang ditemukan pada kulit, paling pencegahan (terutama pada anak-anak), ditargetkan tepat kebersihan, membersihkan luka, dan meminimalkan menggaruk (yaitu dengan menjaga kuku dipangkas dan pendek). Menghindari kontak dekat dan berbagi barang-barang seperti handuk dengan potensi individu yang terinfeksi juga dianjurkan.

[ Dapat juga dibaca di : Wikipedia ]

SURVEILANS

DEFINISI SURVEILANS :

  • Menurut WHO : Suatu proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data kesehatan secara sistematis, terus menerus dan penyebarluasan informasi kepada pihak terkait untuk melakukan tindakan.
  • Menurut CDC (Center of Disease Control) : pengumpulan, analisis dan interpretasi data kesehatan secara sistematis dan terus menerus, yang diperlukan untuk perencanaan, implementasi dan evaluasi upaya kesehatan masyarakat, dipadukan dengan diseminasi data secara tepat waktu kepada pihak-pihak yang perlu mengetahuinya

TUJUAN :

  1. Memprediksi dan mendeteksi dini epidemi (outbreak)
  2. Memonitor, mengevaluasi, dan memperbaiki program pencegahan dan pengendalian penyakit,
  3. Memasok informasi utk penentuan prioritas, pengambilan kebijakan, perencanaan, implementasi dan alokasi sumber daya kesehatan.
  4. Monitoring kecenderungan (Tren) penyakit endemis dan mengestimasi dampak penyakit di masa mendatang.
  5. Mengidentifikasi kebutuhan riset dan investigasi lebih lanjut.
  6.  

LINGKUP :

  1. Epidemic
  2. Penyakit infeksi (Penyakit Menular)
  3. Penyakit Tidak Menular
  4. Health Services Problem.
  5. Population Problem.
  6. Environment Problem

SUMBER DATA (WHO) :

  1. Data Mortalitas (kematian)
  2. Data Morbiditas (Kesakitan)
  3. Data epidemik
  4. Laporan penggunaan laboratorium (hasil test lab.)
  5. Laporan investigasi kasus secara individual
  6. Laporan investigasi epidemik (penyelidikan wabah)
  7. Survei khusus (register penyakit, survei serologis)
  8. Informasi binatang sebagai reservoir dan vektor.
  9. Data demografik
  10. Data lingkungan.

MANFAAT & KEGUNAAN :

  1. Mempelajari pola kejadian penyakit dan penyakit potensial pada populasi sehingga dapat efektif dalam investigasi, controling dan pencegahan penyakit di populasi.
  2. Mempelajari riwayat alamiah penyakit, spektrum klinik dan epidemiologi penyakit (siapa, kapan dan dimana terjadinya, serta keterpaparan faktor resiko)
  3. Menyediakan basis data yang dapat digunakan untuk memperkirakan tindakan pencegahan dan kontrol dalam pengembangan dan pelaksanaan.

KEGIATAN RUTIN UNIT SURVEILANS :
a)  Melaksanakan kegiatan surveilans

  • Pengumpulan data
  • Pengolahan dan penyajian
  • Analisis dan interpretasi
  • Penyebarluasan informasi dan rekomendasi

b)  Penanggulangan KLB :

  • SKD KLB
  • Penyelidikan dan penanggulangan KLB

c)  Pengembangan sistem surveilans termasuk
      pengembangan jaringan informasi
d)  Koordinasi kegiatan surveilans : lintas program dan lintas sektoral

JENIS SURVEILANS :

a)  Surveilans aktif

  • Pengamatan kasus dilakukan secara langsung ke lapangan.
  • Hasil yang diperoleh lengkap dan jauh lebih baik
  • Dibutuhkannya dana dan tenaga khusus.

b)  Surveilans pasif

  • Pengamatan kasus dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui laporan.
  • Hasil yang diperoleh kurang lengkap.

ALASAN DILAKSANAKAN SURVEILANS :
Surveilans beralasan untuk dilakukan jika dilatari kondisi :

  1. Beban penyakit (burden of disease) tinggi, sehingga merupakan masalah penting kesehatan masyarakat.
  2. Terdapat tindakan kesehatan masyarakat yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut.
  3. Data relevan mudah diperoleh

Hasil yang diperoleh sepadan dengan upaya yang dilakukan (pertimbangan efisien).

Batu Saluran Kemih (Urinary Stone)

RELATIONSHIP BETWEEN DRINKING WATER HARDNESS, CALCIUM LEVEL AND URINE CALCIUM OXALATE SEDIMENT AMONG ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS

(A Case Study of Sidowangi, Subdistrict of Kajoran, District of Magelang)

M. Dody Izhar1, Hari Purnomo K2, Suhardi Darmoatmodjo3

ABSTRACT

Background: Water hardness containing calcium mineral (Ca2+) is supposed to increase absorption in intestinal lumen and calcium excretion (hyper-calciuria) of urine. Alkalic conditioned urine can cause changes of saturation concentration to become calcium supersaturation leading to the crystalization of calcium oxalate.

Objective: To identify the relationship between drinking water hardness, drinking and eating habit to calcium level and urine calcium oxalate sediment.

Method: The study was observational with cross sectional design. Examination analysis of drinking water hardness (mg/l), level of urine calcium (mg/dl) and calcium oxalate sediment of first/morning urine samples of 128 elementary school students (6-12 years old) was carried out using one-stage cluster random sampling technique at Sidowangi Subdistrict of Kajoran, District of Magelang, Central Java. Data of drinking and eating habit for bestial protein, vegetable protein, calcium and phospor, uric acid, oxalic acid and citric acid of the subject of the study were obtained from interview using questionnaires and food frequency forms. Data analysis used Stata version 8.0 program for windows at significance level. p<0.05.

Result: Average value and main deviation of drinking water hardness was 66.75 + 8.36, level of urine was 10.43+ 6.40 and there were 52 subjects (40.63%) with calcium oxalate crystal. The result of statistical analysis showed that drinking water hardness did not affect level of urine calcium (rs=0.004; p=0.967; POR=1,017; 95% CI=0.476-2.172) and calcium oxalate sediment (rs=-0.007; p=0.937; POR=0.972; 95% CI= 0.480-1,969). Drinking habit (p=0.007; POR=3.509; 95% CI=1.339-8.802) and eating habit of citric acid sources (adequate p=0.066; POR=3.037; 95%CI=0.931-9,903, less p=0.000; POR=10,996; 95% CI=3.533-34.218) were 2 predisposition variables of calcium oxalate sediment status.

Conclusion: Drinking water hardness had no effect to level of urine calcium and calcium  oxalate sediment. Drinking habit and eating habit for citric acid sources were 2 most determining factors, i.e. as protection or inhibitor of calcium oxalate crystalization formation.

Keywords: water hardness, calcium level, calcium oxalate sediment.

1.   Health Office of Jambi Municipality, Jambi

2.   Magister, Field Epidemiology and Training Program, Faculty of  Medicine, Gadjah Mada University, Yogyakarta

3.   Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University, Yogyakarta